Pastordepan Media Ministry
Beranda Seri Kitab Ayub Pelajaran dari Jawaban Ayub Kepada Elifas (Ayub 6:1-7)

Pelajaran dari Jawaban Ayub Kepada Elifas (Ayub 6:1-7)

Mari kita lanjutkan kembali pembahasan seri Ayub. Kita tiba di pasal 6.

Panjang lebar Elifas menyampaikan argumentasinya tentang mengapa Ayub menderita. Kesimpulannya adalah Ayub telah bersalah melakukan dosa kepada Tuhan dan sesama.

Karena itu Ayub menderita. Anaknya mati semua. Hartanya habis. Tubuhnya digerogoti penyakit mematikan. Elifas menasehati Ayub untuk datang kepada Tuhan mengaku dosanya dan bertobat.

Bagi Ayub, argumentasi dan asumsi Elifas terhadap dirinya tidak benar. Salah semua. Dia tidak bersalah. Tidak melakukan dosa apa pun yang setimpal dengan penderitaannya.

Dia tidak mengerti kenapa dia menderita. Karena itu Ayub tidak bisa terima tuduhan Elifas kepadanya. Maka dia memberi jawaban atas argumentasi Elifas di pasal 6.

Jawaban Ayub terdiri dari 4 bagian. Pertama (6:2-13), ia membenarkan kemarahannya di bawah tekanan penderitaan.

Kedua, (6:14-30) ia menyatakan kekecewaannya terhadap sahabat-sahabatnya, yang telah mengecewakannya.

Ketiga, (7:1-15) Ayub mengeluh tentang siksaan tak henti-hentinya yang ditimpakan Tuhan kepadanya, dimana kematian lebih baik baginya sebagai pembebasan dari penderitaan.

Keempat, 7:16-21), kalau pun Ayub telah berdosa, ia tidak dapat merugikan Allah sehingga pantas mendapatkan hukuman tersebut.

Ketika Ayub memulai tanggapannya, dia mengungkapkan betapa dalam dan luasnya rasa sakitnya. Dia menggunakan metafora ‘berat..’

Dia mengatakan jika penderitaannya dapat ditimbang, beratnya akan lebih berat daripada semua pasir di pantai.

“Ah, hendaklah kiranya kekesalan hatiku ditimbang, dan kemalanganku ditaruh bersama-sama di atas neraca! Maka beratnya akan melebihi pasir di laut..” (6:2-3)

Seperti Ayub, kita pun sering menggunakan istilah berat, untuk menyatakan banyaknya beban dan persoalan kita.

Selanjutnya masih dalam bahasa kiasan diayat 4, Ayub merasa bahwa penderitaannya disebabkan oleh tindakan langsung Tuhan.

“Karena anak panah dari Yang Mahakuasa tertancap pada tubuhku, dan racunnya diisap oleh jiwaku; kedahsyatan Allah seperti pasukan melawan aku.”

Ia membayangkan bahwa Tuhan sedang menggunakannya objek dari aktivitas peperangan Tuhan.

Ayub membayangkan Tuhan sedang berperang melawan dirinya. Itu kita bisa lihat dari penggunaan kata ‘pasukan.’

Jadi karena rasa sakit dan frustrasi yang dialaminya, maka Ayub tidak punya pilihan selain mengeluh. Terkadang kita seperti Ayub, ketika suasana hati kita berat, kita mengeluh. Merintih.

Itu sebagai reaksi dari beratnya penderitaan yang mungkin dialami seseorang. Dan keluhan sering dianggap sebagai kelemahan..

Ketika para sahabatnya mempertanyakan keluhan Ayub, dia menjawab dengan menggunakan pertanyaan retoris, yang berkaitan dengan makanan.

“Meringkikkah keledai liar di tempat rumput muda, atau melenguhkah lembu dekat makanannya? Dapatkah makanan tawar dimakan tanpa garam atau apakah putih telur ada rasanya? Aku tidak sudi menjamahnya, semuanya itu makanan yang memualkan bagiku.” (6:5-7)

Jawaban untuk dua pertanyaan pertama tentang keledai dan lembu adalah ya, keledai dan lembu meringkik.

Keledai liar meringkik dan lembu melenguh meminta makanan mereka (rumput, makanan ternak). Ketika mereka lapar dan perlu makan, mereka mengeluh.

Lalu jawaban atas pertanyaan, Dapatkah makanan tawar dimakan tanpa garam..? Orang akan memberi bumbu untuk makanan tawar.

Ayub secara metaforis menyatakan bahwa ia tidak mendapatkan makanan yang ia butuhkan.

“Makanan” di hadapannya tidak dapat dimakan. Malahan, itu membuatnya sakit. Ia bahkan tidak mau menyentuhnya.

Istilah makanan disana adalah hal-hal yang buruk yang terjadi dalam hidupnya, dan itu sesuatu yang yang hambar dan menjijikkan.

Makanan hambar juga mungkin merujuk pada nasihat yang baru saja ia terima dari Elifas. Itu tidak membantu, bahkan menjijikkan.

Kita perlu hati-hati memberi nasehat kepada seseorang yang sedang menderita. Entah pun penderitaan itu karena kesalahan orang itu sendiri.

Karena jangan sampai nasehat kita menghakimi, memojokkan, sehingga nasehat itu akan menjadi seperti makanan hambar yang tidak bisa mereka makan dan terbuang sia-sia.

Sebelum menasehati, kita perlu mengetahui secara lengkap tentang apa yang sedang terjadi agar tidak salah memberi nasehat.

Hendaknya dalam penghiburan-penghiburan yang kita lakukan kepada orang lain yang tengah dalam derita atau pergumulan mempertimbangkan situasi yang mereka alami dan bukan hanya berdasarkan maksud dan pola pikir kita saja.

Kita sebagai pemberi nasehat adalah pihak yang superior dan sedang baik-baik saja, sementara mereka yang tengah menderita adalah pihak yang inferior dan sedang tidak baik-baik saja.

Karena itu nasehat berikut ini perlu kita pertimbangkan..

1 Tesalonika 5:11: “Karena itu nasihatilah seorang akan yang lain dan saling membangunlah kamu seperti yang memang kamu lakukan.”

Kolose 3:16: “Hendaklah perkataan Kristus diam dengan limpahnya di antara kamu, sehingga kamu dengan segala hikmat mengajar dan menegur seorang akan yang lain dan sambil menyanyikan mazmur, puji-pujian dan nyanyian rohani, kamu bersyukur kepada Allah di dalam hatimu.”

Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya

Join now
Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

22 pelajaran Alkitab

Iklan