Pastordepan Media Ministry
Beranda Seri Kitab Ayub Mengapa Ayub Berkorban Setelah Pesta Anak-anaknya?

Mengapa Ayub Berkorban Setelah Pesta Anak-anaknya?

Setelah kesempurnaan hidup Ayub diterangkan, sekarang narrator menerangkan bukti tambahan tentang kekayaan Ayub dan keimanannya.

Yaitu tentang salah satu kegiatan anak laki-laki Ayub. Berpesta.

“Anak-anaknya yang lelaki biasa mengadakan pesta di rumah mereka masing-masing menurut giliran dan ketiga saudara perempuan mereka diundang untuk makan dan minum bersama-sama mereka.” (4-5)

Tidak diterangkan pesta apa mereka. Kemungkinan pesta ulang tahun. Tentu ini bukan pesta atau perayaan agama.

Namun pesta tersebut sudah menjadi agenda rutin dalam keluarga Ayub dan dilakukan secara bergiliran terutama oleh para anak laki-laki.

Dan mereka akan mengundang saudari mereka perempuan, yang mungkin masih tinggal dengan ayah mereka untuk turut menikmati pesta tersebut.

Cara mereka mengadakan pesta menunjukkan, kemungkinan belum ada yang menikah diantara mereka.

Semua ini menunjukkan kedekatan dan kekayaan keluarga Ayub.

Ketika mengadakan pesta ini, mereka tidak sedang mempraktekkan hidup yang boros. Walau pun kemungkinan pesta ini dilakukan selama berhari-hari. Mungkin tujuh hari.

Dan ini bukan pesta pemanjaan diri dan memuaskan nafsu duniawi. Di dalamnya ada unsur kebajikan.

Di dunia timur, Seorang sheikh atau orang kaya di kalangan Arab selalu membuka rumahnya untuk tamu, membangun reputasi baiknya melalui kedermawanan.

Kedermawanan adalah salah satu dari empat bajikan utama Arab atau timur. Dan kemungkinan anak-anak Ayub ketika mengadakan pesta juga melakukan hal yang sama. Kedermawanan.

Dan mungkin salah satu agenda pesta tersebut adalah memberikan sedekah. Membantu orang-orang miskin, yang ada disekitar rumah mereka.

Jadi tidak ada indikasi bahwa pesta anak-anak Ayub sebagai pesta kepelesiran, pemuasan hasrat duniawi, mabuk dan judi.

Uniknya dalam pesta ini, kemungkian Ayub tidak hadir. Karena ada ketentuan yang mengharuskan Ayub tidak boleh mengorbankan martabatnya dengan menerima jamuan di rumah anak-anaknya.

Dan hal itu dapat dikonfirmasi diayat 18-19, ketika pesta diadakan dirumah anak sulung, rumah tersebut roboh oleh bencana dan semua anak-anak Ayub mati. Ayub tidak ikut pesta itu.

Jadi apa yang ingin ditampilkan oleh penulis dengan cerita tentang pesta anak-anak Ayub?

Penulis ingin memberikan gambaran keharmonisan dan kegembiraan keluarga Ayub, yang kemudian hari akan dirusak oleh tragedi yang akan segera terjadi.

Hidup ini memang harus dibuat gembira. Banyak hal yang dapat menciptakan kegembiraan dalam hidup kita.

Salah satu acara yang membuat gembira adalah pesta ulang tahun. Lihatlah orang yang ulang tahunnya dirayakan. Mereka senang dan Bahagia.

Namun agar pesta ini bermakna, maka perlu dirayakan dengan ucapan syukur kepada Tuhan, dengam memberikan persembahan syukur hari lahir dan berbagi dengan orang lain.

Gantinya kita menerima hadiah, justru kita memberi hadiah. Ulang tahun, fokusnya bukan kepada diri sendiri, tetapi kepada Tuhan yang telah menambahkan usia kepada kita.

Sudah waktunya kita berubah dalam cara merayakan ulang tahun. Pada saat ulang tahun, biarlah itu menjadi saat untuk bersyukur dan membangun iman.

Bawalah persembahan syukur hari lahir kepada Tuhan melalui gereja. Dan berbagilah dengan orang yang membutuhkan.

Perhatikan, ketika kita bergembira akan satu hal, ingalah, bahwa kita akan menangis dan sedih akan satu hal lain dimasa mendatang..

Tentang pesta, Paulus mengatakan bagaimana kita harus berpesta..

“Karena itu marilah kita berpesta, bukan dengan ragi yang lama, bukan pula dengan ragi keburukan dan kejahatan, tetapi dengan roti yang tidak beragi, yaitu kemurnian dan kebenaran” 1 Korintus 5:8.


PESTA USAI, AYUB BERKURBAN

AYUB tidak tidak hadir dalam setiap pesta yang digelar oleh anak-anaknya. Sehingga dia tidak tahu apa saja yang mereka lakukan dalam pesta itu.

Karena itu dia mengantisipasi jika ada tindakan mereka dalam pesta itu yang tidak patut, ada 3 hal yang Ayub lakukan: memanggil mereka, menguduskan mereka dan mempersembahkan korban.

Ayub Sadar ketika seseorang menikmati kesenangan ada kecenderungan lupa norma kesopanan. Tindakan dan pembicaraan bisa diluar kendali..

Dalam hatinya Ayub berpikir, “Mungkin anak-anakku sudah berbuat dosa dan telah mengutuki Allah di dalam hati.”

Apa yang dimaksud oleh Ayub bahwa anak-anaknya mungkin telah melakukan dosa yang tersembunyi dihati mereka.

Dosa yang dimaksud Ayub adalah mengutuki Allah.

Dalam konteks Alkitab Perjanjian Lama, dalam Imamat 24:10–16, mengutuk dipandang sebagai pelanggaran yang serius. Bisa dihukum mati.

Mengutuk Tuhan dapat melibatkan penggunaan nama Tuhan dalam sumpah yang sembrono.

Menggunakan nama Tuhan dengan sia-sia juga dianggap bersalah.

Mengutuk Tuhan bisa juga dalam konteks berbicara dengan kata-kata melawan Tuhan, merendahkan atau menghina Tuhan.

Dan dalam konteks ini, mungkin yang paling sesuai adalah menghina Tuhan. secara tertulis dan tersirat, sebenarnya anak-anak Ayub tidak ada menghina Tuhan..

Namun sekali lagi, itu adalah pikiran Ayub. Karena dalam ketidak tahuannya dia berpikir siapa tahu mereka telah berbuat dosa dalam hati mereka..

Kita dapat mengidentifikasi beberapa contoh pelanggaran ini dengan melampaui penggunaan kata “mengutuk” itu sendir..

Kata-kata yang diucapkan dalam hati yang menghina Tuhan kita lihat beberapa daftar berikut ini:

• Mengambil kredit untuk diri atas apa yang telah dilakukan Allah kepada kita (lih. Ul. 8:17)

• salah menafsirkan motif Allah (Ul. 9:4)

• Berpikir bahwa Allah tidak akan bertindak (Ul. 29:19)

• Mengekspresikan ambisi melawan Allah (Yes. 14:13)

• Mengekspresikan kesombongan (Yes. 47:10)

• Menyatakan bahwa tidak ada Allah (Mzm. 14:1; 53:1)

Contoh-contoh diatas termasuk menghina Allah dengan menyatakan bahwa Dia tidak berkuasa bertindak, bahwa Allah korup dalam tindakan atau motif-Nya, bahwa Allah memiliki kebutuhan, atau bahwa Allah dapat dimanipulasi.

Perkataan diatas merupakan penghujatan terhadap Allah karena membuat Allah menjadi kurang dari Allah.

Namun dalam kasus anak-anak Ayub, kemungkinan besar ini bukan cara anak-anaknya menghujat Allah.

Mereka mungkin lebih cenderung dalam kegembiraan mereka, lalu berpikir bahwa kesuksesan mereka dicapai oleh tangan mereka sendiri..

Akibatnya mereka gagal memberikan pujian kepada Allah atas berkat yang mereka nikmati.

Dalam budaya Israel dan Timur Dekat Kuno, Penghinaan adalah sebuah pelanggaran.

“Dosa perkataan” dalam teks-teks Akkadia meliputi sumpah yang sembrono dan penistaan (Akkad. šillatu).

Kata fitnah, hinaan, dan ketidaktaatan atau berbagai macam ucapan yang menyinggung, merupakan dosa perkataan dalam budaya Timur.

Hal ini dianggap sebagai pelanggaran serius dan kadang-kadang diidentifikasi sebagai penyebab kemungkinan penyakit dalam teks diagnostik medis.

Jadi pikiran Ayub bahwa kemungkinan anak-anaknya berbuat dosa dalam pesta menunjukkan bahwa ia megasihi Allah dengan segenap hati, jiwa, pikiran, dan tenaganya.

Dia takut akan Allah dan selalu berupaya untuk menjaga hati dan pikiran agar jangan sampai timbul niat jahat dalam hidup anak-anaknya.

Dia beranggapan bahwa setiap kali pesta diadakan, ada kemungkinan pernyataan yang tidak terjaga dapat diucapkan yang dapat membuat Tuhan marah meskipun tidak ada niat seperti itu..

Dalam budaya dunia kuno diluar Israel, para dewa-dewa dianggap mudah tersinggung dan marah, bahkan untuk sesuatu yang sepele.

Misalnya, apabila seseorang tanpa sengaja menginjak ruang suci dewa, atau mungking memakan makanan yang dilarang dewa, maka dewa bisa marah..

Nah, Apakah Ayub memikirkan Tuhan dalam konsep dewa orang-orang sekitar?

Di dunia kuno, kewajiban agama lebih mementingkan ritual dibanding etika dan moral. Jadi orang-orang tidak tahu apa yang menyenangkan para dewa..

Karena itu orang-orang memberi hadiah untuk menyenangkan para dewa. Para dewa sering dianggap tidak rasional.

Para dewa memiliki kebutuhan, dan orang berusaha menjaga para dewa tetap puas dengan memenuhi kebutuhan tersebut yaitu ritual.

Walau masalah Etis tidak diabaikan, namun bukan tanggung jawab utama agama.

Nah, apakah Ayub memiliki pikiran yang sama dengan orang-orang jaman itu, yang berpikir bahwa Tuhan begitu sensitif? Karena itu Dia harus disenangkan dengan ritual?

Kita tidak tahu seperti apa Ayub memiliki gambaran tentang Tuhan.

Apakah ritual yang dia lakukan, dengan mempersembahkan korban bakaran sebanyak jumlah anak-anaknya, motifnya agar Tuhan tidak marah?

Karena kalau Tuhan marah, maka semua harta kekayaannya akan diambil Tuhan dan dia akan ditimpa musibah yang tidak dapat dijelaskan?

Namun kita tahu kemudian bahwa persembahan korban dari Ayub bukan ritualisme belaka, namun lebih kepada hubungan baiknya dengan Allah dan ini berkaitan dengan perilaku benar.

Sebagaimana diayat pertama, Ayub digambarkan sebagai orang saleh dan jujur, takut akan Allah. Karena itu dia ingin anak-anaknya hidup saleh. Tidak ada motif buruk dalam pikiran mereka..

Itu sebabnya, dia memanggil anak-anaknya, menasehati mereka, memberi arahan dan mendoakan mereka agar hidup benar dihadapan Tuhan.

Melalui hal ini kita bisa melihat, Ayub sebagai ayah yang benar dan bertanggung jawab. Dia tidak hanya memenuhi anak-anaknya dengan kenyamanan materi, tetapi juga rohani.

Ayub sangat tertarik dengan kerohanian anak-anaknya, yang mana itu akan berdampak pada perilaku mereka.

Sebagai seorang Ayah, selain pencari nafkah, dia juga sebagai imam dirumah tangga, yang bertanggung jawab masalah kerohanian anggota keluarganya..

Paulues memberi nasehat kepada para Ayah, “Hai bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasehat Tuhan. “ Ef 6:4

Amsal 23:24 mengatakan, “Ayah seorang yang benar akan bersorak-sorak; yang memperanakkan orang-orang yang bijak akan bersukacita karena dia.”

Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya

Join now
Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

22 pelajaran Alkitab

Iklan