Makna Kesembuhan Orang Sakit Kusta di Matius 8:1-4
“Setelah Yesus turun dari bukit, orang banyak berbondong-bondong mengikuti Dia. Maka datanglah seorang yang sakit kusta kepada-Nya, lalu sujud menyembah Dia dan berkata: “Tuan, jika Tuan mau, Tuan dapat mentahirkan aku.”
Lalu Yesus mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang itu dan berkata: “Aku mau, jadilah engkau tahir.” Seketika itu juga tahirlah orang itu dari pada kustanya.
Lalu Yesus berkata kepadanya: “Ingatlah, jangan engkau memberitahukan hal ini kepada siapa pun, tetapi pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam dan persembahkanlah persembahan yang diperintahkan Musa, sebagai bukti bagi mereka.” Matius 8:1-4
Matius 5-7 merupakan otoritas Yesus dalam perkataan, selanjutnya dipasal 8-9 merupakan otoritas Yesus dalam bentuk tindakan.
Dan di pasal 8-9 ditampilkan tiga mujizat yang spesifik untuk menunjukkan otoritas-Nya.
Mujizat pertama adalah penyembuhan seorang yang sakit kusta. Kusta dalam Alkitab dapat mengacu pada berbagai masalah kulit.
Bahkan pakaian pun bisa menjadi “kusta” (Im. 13:47–59). Di semua kasus penyakit kusta, para imam bertanggung jawab untuk mengatur masalah upacara pentahiran.
Mereka yang diduga menderita kusta, dikarantina 14 hari lamanya sampai status mereka menjadi jelas apakah kusta atau bukan.
Kalau terbukti kusta, mereka akan dikucilkan dari masyarakat sampai dinyatakan sembuh. Prosedur penanganan untuk penderita kusta sebagai berikut:
Adapun penderita kusta, pakaiannya akan dirobek, dan rambunya terurari, dan dia akan menutupi mukanya dan berteriak, ‘Najis! Najis!’ “Ia akan tetap najis selama ia terkena infeksi.
Dia akan hidup sendirian, tempat tinggalnya akan berada di luar perkemahan. (Imamat 13:45–46).
“Di Palestina ada dua jenis kusta. pertama, agak mirip dengan penyakit kulit yang sangat parah, dan kedua, yang tidak terlalu serius.
Kusta mulai dari titik kecil, berkembang dan memakan daging sampai penderita hanya tersisa tulang tangan atau kaki. Itu benar-benar mayat hidup.
Sering penderita kusta adalah pengemis dan mereka dapat menghidupi diri sendiri. Terkadang keluarga mereka menitipkan makanan di tempat-tempat terpencil.
Mereka biasanya hidup dalam kelompok sesama orang buangan (lih. 2 Raja-raja 7:3; Luk 17:12).
Orang-orang Yahudi memberikan 2 vonis kepada penderita kusta. pertama, engkau adalah orang mati yang berjalan.
Kedua, Engkau pantas mendapatkannya karena ini adalah hukuman Tuhan terhadap engkau. Jadi begitu menderitanya penderita kusta masa itu. Menderita batin dan fisik saat yang bersamaan.
Lingkungan terdekat dan masyarakat begitu menghinakan mereka, sehingga mereka sangat tertekan karena terstigma sebagai pendosa.
Ada kebiasaan orang Yahudi mengatakan bahwa Anda bahkan tidak boleh menyapa penderita kusta. Tradisi mengatakan Anda harus berada sejauh 2 meter dari seorang penderita kusta.
Jika angin bertiup ke arah penderita kusta, mereka harus menjaga jarak sejauh 45 meter.
Seorang Rabi dalam bualannya mengatakan bahwa dia tidak akan membeli sebutir telur di jalan di mana dia melihat seorang penderita kusta, dan yang lain membual bahwa dia melempari penderita kusta dengan batu untuk menjauhkan mereka darinya.
Seorang Rabi lain bahkan tidak mengizinkan penderita kusta untuk mencuci wajahnya.
Ada satu hal yang dianggap najis dalam budaya masa itu yaitu kontak dengan mayat. Maka kenajisan penderita kusta disamana dengan mayat.
Mereka dianggap sebagai pendosa dan terkutut, karena kusta dipandang kutukan karena dosa.
Oleh karena itu masyarakat dan orang beragama mencemooh penderita kusta. Para rabi secara khusus membenci mereka.
Di abad pertengahan, jika seorang pria menjadi penderita kusta, pendeta mengenakan stolanya dan mengambil salibnya, dan membawa pria itu ke dalam gereja, dan membaca layanan penguburan kepadanya, karena pria itu sudah akan mati.
Melihat kondisi yang sangat menyedihkan dari penderita kusta, maka harapan untuk sembuh dan hidup sangat tipis bagi mereka.
Karena itu harapan mereka hanya kepada Yesus. dan Ketika dia melihat Yesus, dia sujud menyembah dan penuh penyerahan dia mengiba, “Tuan, jika Tuan mau, Tuan dapat mentahirkan aku.”
Yesus menjawab, “Aku mau, jadilah engkau tahir.” Seketika itu juga tahirlah orang itu dari pada kustanya.
Penyembuhan kusta melibatkan implikasi agama, fisiologis, dan sosiologis. Karena kusta dianggap sebagai pencemaran dan karenanya membuat seseorang tidak dapat diterima secara ritual, itu juga berarti pengucilan dari kehidupan sosial yang normal.
Penyembuhan kusta juga dianggap sebagai masalah agama, dan penyembuhannya harus diverifikasi oleh para imam sebelum seseorang dianggap telah dibersihkan secara ritual.
Itu sebabnya Yesus menyuruh dia pergi pergi memperlihatkan dirinya kepada imam dan memberi persembahan sebagai bukti dia telah sembuh.
Ketika Yesus menjamah orang najis itu, dia tidak menjadi najis atau tertular. Dia membersihkan kenajisan itu dan memulihkannya.
Kusta adalah lambang dosa. Seperti halnya orang kusta, dia menderita dan terpencil. Dan kita membutuhkan sentuhan Yesus untuk membersihkan kita dari kusta dosa kita.
Karena itu pelajaran dari orang kusta ini adalah siapa pun yang menginginkan penyembuhan rohani dari Yesus, harus menerapkan pelajaran ini dalam kehidupannya sendiri.
Kita harus datang kepada Kristus dengan kesadaran yang mendalam akan dosa.
Apakah kita mengakui bahwa kita adalah orang berdosa dan bahwa kita tidak memiliki apa pun di dalam diri kita untuk menyembuhkan kusta dosa kita?
Apakah kita meratapi dosa-dosa kita? Kalau ya, kita siap untuk sentuhan penyembuhan Kristus.
Kita harus membungkuk di hadapannya dengan rasa hormat dan rendah hati, tunduk kepada-Nya sebagai satu-satunya harapan kita.
Kita harus percaya Yesus bisa membuat kita bersih melalui darah-Nya. Apakah kita percaya?
“Ia sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib, supaya kita, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran. Oleh bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh.” 1 Petrus 2:24