Ayub Menabur yang Baik, Menuai Badai (Ayub 4:8-9)
JANGAN asal mengutip ayat-ayat dalam kitab Ayub. Kita harus tahu siapa yang berargumen. Apakah itu argumentasi Elifas dan temannya atau Ayub?
Kita perlu memahami sudut pandang teologi dan filsafat hidup yang mereka miliki. Ketiga teman Ayub, memiliki filosofi yang berbeda dengan Ayub dalam memahami Tuhan dan peristiwa yang dialaminya..
Kita kembali kepada teologi Elifas. Setelah dia memberi contoh di ayat 7 tentang orang jahat akan mati muda, dan berasumsi bahwa Ayub menderita karena melakukan dosa..
Sekarang dia membuat dasar argumentasi tersebut, melalui hasil pengamatannya.
“Telah kulihat ialah bahwa orang yang membajak kejahatan dan menabur kesusahan, ia menuainya juga..” (4:8)
Mereka yang membajak kejahatan (ʾāwen) dan menanam kesusahan (ʿāmāl) akan menuai kejahatan dan kesusahan.
Apa yang dikatakan Elifas ini bukan teori. Dia melihat sendiri orang yang menabur kejahatan menuai yang jahat juga..
Ini sangat masuk akal. Seperti petani, yang menabur benih padi akan menuai padi juga. Maka kalau orang menabur yang jahat, maka dia akan menuai yang jahat juga..
Dan itu sejalan dengan Amsal 22:8, “Orang yang menabur kecurangan akan menuai bencana..”
Maka dari hasil pengamatannya, Elifas beranggapan Ayub telah menabur yang buruk, maka sekarang dia mendapat hal yang buruk.
Namun pemahaman Elifas tentang hukum tabur tuai masih terbatas. Hukum itu tidak sesederhana itu.
Sebab tidak selamanya, orang yang menabur kebaikan akan menuai yang baik, terkadang dia mendapat yang buruk..
Secara prinsip umum, ini benar..tetapi ini tidak berlaku universal.
Sebagai prinsip umum, Perjanjian Baru juga menyampaikan hal yang sama: “Semua yang mengambil pedang akan mati oleh pedang” (Matius 26:52)
Namun dalam kehidupan ini, prinsip ini tidak berlaku secara sempurna. Buktinya adalah Ayub. Dia menabur kebaikan, namun yang dia tuai adalah kebinasaan.
Karena itu teologi Elifas keliru. Tapi itu dapat di maklumi. Sebab dia tidak mengetahui bahwa dibalik penderitaan yang dialami Ayub ada Tuhan dan musuh yang sedang berperang tentang kesetiaan Ayub..
Karena pengamatan Elifas sangat terbatas, kesimpulan yang ia tarik pun cacat. Tidak sempurna.
Kita pun sering seperti Elifas. Keterbatasan pemahaman kita tentang Tuhan dan hidup, membuat kita keliru dalam mengambil kesimpulan dan keputusan..
Maka melalui kisah Ayub, kita akan lebih memahami cara kerja Tuhan dan rencana Tuhan bagi kita ditengah-tengah pekerjaan Iblis yang terus menerus merusak pikiran kita..
Kesimpulan Elifas, orang yang menabur kejahatan akan menuai yang jahat, maka pada akhirnya mereka akan dibinasakan Allah..
Sambil menoleh kepada Ayub, Elifas berkata dengan suara aga meninggi, “Mereka binasa oleh nafas Allah, dan lenyap oleh hembusan hidung-Nya..” (9)
Elifas secara tidak langsung, mengatakan kepada Ayub bahwa apa yang dialaminya adalah hukuman langsung dari Tuhan..
Kemudian, Elifas menggunakan singa sebagai kiasan.
“Singa mengaum, singa meraung — patahlah gigi singa-singa muda…Singa binasa karena kekurangan mangsa, dan anak-anak singa betina bercerai-berai..” (4:10-11).
Gambaran singa disini mewakili orang jahat. Hewan berbahaya dan menakutkan.
Singa merupakan gambaran yang terkenal di Timur Tengah kuno untuk raja-raja yang berkuasa dan menaklukkan, terutama di Asyur.
Dalam Alkitab, singa sering kali menjadi simbol bagi orang-orang jahat (Mazmur 7:2..)
Menurut Elifas, orang jahat seperti singa (kuat, berbahaya, menakutkan), namun mereka akan dibungkam.
Gigi mereka yang merobek mangsanya akan patah. Mereka akan lapar, tanpa mangsa. Mereka akan keteteran.
Dengan kata lain, meskipun orang jahat tampak kuat, penampilan mereka menipu. Yang kuat akan dihancurkan karena kejahatan mereka.
Nah, dengan menggunakan gambaran singa ompong dalam argumennya, Elifas ingin meyakinkan Ayub bahwa dia sendiri adalah singa itu..
Ayub seperti singa ompong tak bertaji. Dulunya orang hebat, sekarang lumpuh tak berdaya, akan binasa karena kejahatanya..
Argumentasi Elifas ini berisi lebih banyak asumsi. Prasangka dari pada fakta.
Ayub tertunduk. Dia menahan diri untuk tidak bicara. Dia coba mempelajari argument Elifas. Dia tahu argument itu salah..
Ayub yang paling tahu tentang dirinya sendiri. Bukan Elifas. Ayub telah mengkoreksi dirinya, dia tidak melakukan kesalahan atau dosa terhadap Tuhan atau pun sesama..
Itu sebabnya, dia tidak bisa terima tuduhan Elifas. Namun dia tidak buru-buru menyela. Dia ijinkan Elifas menyelesaikan argumentasinya..
Seperti Ayub, orang-orang mungkin membuat asumsi tentang kita bahwa kita telah melakukan suatu dosa atau kesalahan..
Namun ingat, tidak ada orang yang paling tahu tentang kita selain Tuhan dan diri kita sendiri. Kita perlu berdiam dan mengkoreksi diri. Apakah asumsi itu dapat diterima..?
Jika apa kata orang tentang kita dan itu benar, biarlah itu menjadi koreksi untuk perbaikan. Bila tidak benar, kita punya hak jawab untuk itu..
Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya
Join now