Arti Perumpamaan Orang-orang Upahan di Kebun Anggur (Matius 20:1-16)
“Adapun hal Kerajaan Sorga sama seperti seorang tuan rumah yang pagi-pagi benar keluar mencari pekerja-pekerja untuk kebun anggurnya.” Matius 20:1-7
Latar Belakang
Perumpamaan dalam Matius 20:1-16 secara eksplisit mengilustrasikan poin bahwa yang pertama akan menjadi yang terakhir dan yang terakhir akan menjadi yang pertama..
Aslinya perumpamaan ini ditujukan kepada bangsa Israel dan bangsa-bangsa lain.
Perumpamaan ini mengajarkan suatu kebenaran tentang Kerajaan Surga, yang menurut Yesus, ibarat seorang tuan tanah yang pagi-pagi sekali berangkat mencari pekerja di kebun anggurnya.
Ia memberikan sebuah ilustrasi tentang dunia rohani di mana kedaulatan Tuhan atas kebenaran dan kasih karunia..
Ini juga tentang kesetaraan dan keadilan yang menjadi landasan bagi dunia untuk masuk melalui kasih karunia-Nya.
Yesus menggunakan kisah yang umum terjadi untuk menggambarkan kebenaran surgawi. Latar belakang perumpamaan ini sebagai berikut:
Pada jaman itu petani kaya punya kebun anggur yang luas dan dia memerlukan orang upahan, ini merupakan ciri-ciri penting kehidupan orang Galilea pada periode ini. Orang kaya dan pekerja.
Jaman itu banyak orang-orang Galilea sebagai petani kecil, punya lahan sedikit dan mengerjakannya sendiri.
Tetapi ada juga segelintir orang petani kaya, yang punya lahan luas dan mereka inilah yang membutuhkan banyak pekerja diladang mereka.
Terkadang mereka mempekerjakan orang untuk jangka waktu tertentu hingga enam tahun. Tetapi mereka lebih menyukai pekerja musiman atau sementara karena biayanya lebih murah.
Misalnya Ketika panen tiba pada akhir musim semi, mereka memerlukan pekerja tambahan. Sebagian untuk menjaga ladang dari pencuri, Sebagian untuk memanen.
Yang lain untuk mengemudikan keledai, mereka biasanya dibayar sangat murah. Mereka yang bekerja diladang petani kaya ini, umumnya tidak memiliki lahan..
Mereka pekerja serabutan yang tidak memiliki keahlian atau ketrampilan. Biasanya mereka mengerjakan pekerjaan kasar apa saja.
Dan yang ironis, terkadang mereka dipekerjakan tidak sampai sehari, bahkan kurang dari itu. Mungkin hanya beberapa saat saja. Tentu dengan bayaran yang sangat minim.
Para pekerja serabutan ini biasanya berkumpul dipasar-pasar. Mereka harus ada disana pagi-pagi sekali. Ditempat ini mereka menunggu orang-orang datang untuk mencari pekerja.
Biasanya para petani kaya menemukan para pekerja dari tempat ini.
Karena mereka tidak mempunyai keterampilan, dan mereka sangat membutuhkan pekerjaan, karena itu, mereka rentan dieksploitasi. Mereka sering kali dibayar rendah dan tidak diuntungkan.
Dimasa lalu Allah telah mengingatkan mereka untuk memperlakukan pekerja harian dengan baik.
“Janganlah engkau memeras sesamamu manusia dan janganlah engkau merampas; janganlah kautahan upah seorang pekerja harian sampai besok harinya.” Imamat 19:13.
Artinya, mereka harus memberikan upah yang layak kepada para pekerja harian mereka dan membayarnya setelah pekerjaan mereka selesai hari itu.
Karena sering kali hanya itulah yang dapat digunakan untuk memberi makan keluarganya pada hari berikutnya.
“Pada hari itu juga haruslah engkau membayar upahnya sebelum matahari terbenam; ia mengharapkannya, karena ia orang miskin; supaya ia jangan berseru kepada TUHAN mengenai engkau dan hal itu menjadi dosa bagimu.” Ulangan 24:15.
Karena mereka pekerja harian, maka mereka dibayar setiap hari.
Nah itu adalah realitas yang terjadi pada masa itu, yang oleh Yesus diambil menjadi perumpaan atau ilustrasi menggambarkan kerajaan Allah.
Intinya, berikanlah upah pekerja harian yang kita pekerjakan dengan adil. Sesuai dengan standar yang ada dan berikan tepat pada waktunya.
Karena memperlakukan sesama dengan adil adalah perhatian Tuhan yang utama dalam kehidupan sosial umat manusia.
Rejeki Pekerja Sore
“Setelah ia sepakat dengan pekerja-pekerja itu mengenai upah sedinar sehari, ia menyuruh mereka ke kebun anggurnya.
Kira-kira pukul sembilan pagi ia keluar pula dan dilihatnya ada lagi orang-orang lain menganggur di pasar.
Katanya kepada mereka: Pergi jugalah kamu ke kebun anggurku dan apa yang pantas akan kuberikan kepadamu. Dan merekapun pergi…”
Kira-kira pukul sembilan pagi ia keluar pula dan dilihatnya ada lagi orang-orang lain menganggur di pasar.
Katanya kepada mereka: Pergi jugalah kamu ke kebun anggurku dan apa yang pantas akan kuberikan kepadamu. Dan merekapun pergi. Kira-kira pukul dua belas dan pukul tiga petang ia keluar pula dan melakukan sama seperti tadi.
Kira-kira pukul lima petang ia keluar lagi dan mendapati orang-orang lain pula, lalu katanya kepada mereka: Mengapa kamu menganggur saja di sini sepanjang hari?
Kata mereka kepadanya: Karena tidak ada orang mengupah kami. Katanya kepada mereka: Pergi jugalah kamu ke kebun anggurku.
Ketika hari malam tuan itu berkata kepada mandurnya: Panggillah pekerja-pekerja itu dan bayarkan upah mereka, mulai dengan mereka yang masuk terakhir hingga mereka yang masuk terdahulu.” Matius 20:2-8.
Kita sudah melihat latar belakang perumpamaan ini, sekarang mari kita lanjutkan dengan cerita tuan rumah yang sedang mencari pekerja untuk kebun anggurnya.
Setelah dia menemukan para pekerja di pasar, mereka bernegosiasi mengenai upah. Pemilik tanah setuju dengan para pekerja untuk membayar upah satu dinar untuk hari itu..
Kemudian para pekerja itu dikirimkan ke kebun anggurnya untuk mulai bekerja.
Satu dinar untuk sehari, yang merupakan upah seorang prajurit Romawi, merupakan upah yang layak bagi para pekerja tersebut.
Kemungkinan besar mereka biasanya dibayar lebih rendah. Dibawah satu dinar. itu sebabnya mereka langsung menyetujui tawaran adil dari petani kaya ini, dan langsung bekerja.
Bagi orang-orang Yahudi, pergantian hari dimulai saat matahari mulai terbenam. Tetapi mereka menghitung jam kerja sejak matahari terbit sekitar pukul 06.00 pagi.
Dan hari kerja jaman itu biasanya dibagi menjadi tiga bagian. Diawali sekitar pukul 06.00. berakhir sampai jam 6 sore.
Pukul 6 pagi, disebut sebagai jam pertama. Diayat 3-6 disana disebutkan ada pukul 9 pagi. Itu adalah jam ketiga. Lalu pukul 12 siang, itu adalah jam ke 6. Pukul 3 petang, itu adalah jam ke 9..
Dan terakhir pukul 5 petang, itu adalah jam ke 11 atau 12..
Kerja dua belas jam per hari hanya lazim dilakukan pada saat panen. Kemungkinan petani kaya ini sedang panen raya. Itu sebabnya dia kembali kepasar mencari pekerja lebih banyak lagi.
“Kira-kira pukul sembilan pagi ia keluar pula dan dilihatnya ada lagi orang-orang lain menganggur di pasar.”
Orang-orang lain ini mungkin adalah orang-orang yang datang terlambat karena harus menempuh jarak yang lebih jauh..
Atau mungkin mereka memiliki kondisi fisik yang lebih buruk dibandingkan orang-orang lain dan bergerak lebih lambat.
Keluarga-keluarga di dunia kuno sering kali menjalani hari demi hari, hanya mencari penghasilan cukup untuk makanan pada hari itu..
Jika mereka tidak mendapatkan pekerjaan, mereka tidak akan mempunyai makanan, sehingga mereka terus menunggu seseorang untuk mempekerjakan mereka.
Para pekerja ini setuju untuk bekerja, dengan harapan besar akan menerima 1 dinar sehari, upah yang layak bagi mereka, apalagi mereka baru masuk kerja pada jam ke tiga.
Berhubung hasil panen yang melimpah, sehingga pemilik tanah berangkat lagi pada jam keenam (12.00 siang) dan jam kesembilan. (3:00 siang).
Karena membutuhkan lebih banyak pekerja, pemilik tanah kembali ke pasar dan menemukan pekerja. Dia berkata kepada mereka, “Mengapa kamu menganggur saja di sini sepanjang hari?”
Para pekerja ini mungkin hampir putus asa, karena sudah sore, belum ada yang mempekerjakan mereka.
Tidak ada penjelasan yang diberikan mengapa orang-orang ini berdiri. . . menganggur sepanjang hari namun belum dipekerjakan.
Mungkin mereka berada di bagian lain pasar atau entah bagaimana terabaikan. Atau mungkin mereka adalah pekerja tertua, terlemah, dan paling tidak produktif, yang tidak ingin dipekerjakan oleh orang lain.
Intinya, meski sudah sangat sore, masih ada orang yang mencari pekerjaan, karena seperti yang mereka jelaskan, tidak ada yang mempekerjakan kami.
Saat itu sudah jam kesebelas (17.00), mendekati akhir jam kerja. Mereka tadinya akan pulang kerumah dengan penuh kesedihan sebab mereka tidak mendapat uang hari itu.
Tetapi di jam terakhir, justru mereka dipekerjakan. Mereka tidak mengharapkan upah 1 dinar, seperti pekerja lainnya. Digaji seperdua belas pun mereka sudah sangat senang..
Kelompok pekerja terakhir ini hanya bekerja sekitar satu jam (ayat. 12) karena pada jam 6 sore, jam kerja sudah berakhir.
Sesuai dengan persyaratan Musa untuk membayar para pekerja pada akhir hari kerja, pemilik kebun anggur berkata kepada mandornya, “Panggil para pekerja dan bayarkan upah mereka.”
Hal seperti ini dilakukan majikan Yahudi yang teliti dalam menaati hukum Perjanjian Lama.
Tetapi dalam cerita ini ada hal yan tidak lazim atau biasa. Yaitu dalam cara membayar upah.
Cara membayar upah para pekerja, “..mulai dengan mereka yang masuk terakhir hingga mereka yang masuk terdahulu.”
Ketika upah para pekerja dibayarkan, terjadi hal yang mengejutkan. Para pekerja yang dipekerjakan terakhir dibayar satu dinar penuh, yaitu upah untuk pekerjaan sehari penuh.
Mereka hanya bekerja satu jam tetapi upah satu dinar. Melihat hal itu, para pekerja yang masuk dari lebih lama berharap mereka akan dapat lebih besar..
Tetapi apa yang terjadi tidak seperti itu. Semua pekerja dibayar dengan nilai yang sama 1 dinar.
Di sinilah Yesus mampu menunjukkan gagasan keadilan yang tidak mementingkan diri. Dan disinilah perumpamaan ini mulai bersinggungan dengan pepatah…
“Tetapi banyak orang yang terdahulu akan menjadi yang terakhir, dan yang terakhir akan menjadi yang terdahulu.” Matius 19:30.
Gagasan utamanya adalah pekerja jam sebelas siap menerima upah mereka, sementar pekerja jam pertama tidak siap menerima upah yang disepakati..
Poinnya, kita harus siap menerima apa yang menjadi bagian kita. Penerapan cerita ini bisa banyak. Masing-masing kita dapat membuat penerapan untuk diri sendiri.
Pekerja Terakhir Menjadi yang Pertama
“Maka datanglah mereka yang mulai bekerja kira-kira pukul lima dan mereka menerima masing-masing satu dinar.
Kemudian datanglah mereka yang masuk terdahulu, sangkanya akan mendapat lebih banyak, tetapi merekapun menerima masing-masing satu dinar juga.
Ketika mereka menerimanya, mereka bersungut-sungut kepada tuan itu,
Katanya: Mereka yang masuk terakhir ini hanya bekerja satu jam dan engkau menyamakan mereka dengan kami yang sehari suntuk bekerja berat dan menanggung panas terik matahari.” Matius 20:9-16.
Kita Sudah melihat cara pemberian upah dimulai dari pekerja yang datang terakhir. Mereka dibayar satu dinar penuh, yaitu upah yang diharapkan untuk pekerjaan sehari penuh.
Hal ini menimbulkan harapan bahwa mereka yang bekerja lebih lama akan menerima kenaikan gaji yang proporsional.
Mereka berpikir, kalau orang yang bekerja 1 jam saja dapat 1 dinar, berarti kami yang kerja 12 jam akan mendapat upah yang berlipat..
Pada titik ini mereka tidak mempunyai masalah dengan apa yang telah dilakukan petani kaya ini dan mereka sangat gembira…
Karena mereka berasumsi bahwa mereka akan menerima upah lebih dari satu hari.
Tetapi ternyata tidak demikian. Mereka yang bekerja sepanjang hari, diterpa panas terik matahari, menerima upah yang sama dengan mereka yang hanya bekerja satu jam..
Para pekerja pertama memprotes bahwa pekerja lainnya tidak berhak mendapatkan perlakuan yang sama. Mereka menggerutu kepada pemilik tanah dan berkata…
“Mereka yang masuk terakhir ini hanya bekerja satu jam dan engkau menyamakan mereka dengan kami yang sehari suntuk bekerja berat dan menanggung panas terik matahari.”
Reaksi mereka sangat manusiawi. Normal. Bagi mereka Itu tidak adil..
Orang-orang itu hanya bekerja satu jam pada penghujung hari. Kami bekerja keras sepanjang hari, termasuk saat panas terik. Mengapa mereka harus dibayar sama dengan kami?”
Dengan lemah lebuh pemilik tanah itu meluruskan maksudnya. Pemilik tanah memanggil salah satu pekerja pertama dengan sebutan “saudara.”
“Saudara, aku tidak berlaku tidak adil terhadap engkau. Bukankah kita telah sepakat sedinar sehari?”
Pemilik tanah kembali mengingatkan mengenai kesepakatan awal tentang upah 1 dinar sehari. bahwa mereka akan dibayar satu dinar masing-masing, yaitu upah yang pantas.
Mereka telah sepakat, artinya keluhan pekerja itu tidak tepat.
Ia seharusnya bersyukur bahwa ia mempunyai cukup uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya.
Nah, masalah utama dalam cerita ini adalah sikap pekerja pertama yang mementingkan diri sendiri.
Ia hanya memikirkan dirinya sendiri. Dia tidak memikirkan kemurahan hati dan campur tangan pemilik tanah atau nasib pekerja lainnya. Dia iri dengan pekerja terakhir.
Baca Juga:
Perumpamaan tentang hutang 10 ribu talenta
Arti Perumpamaan harta terpendam
Arti perumpamaan tentang pukat
Arti Perumpamaan tentang mutiara
Oleh karena itu, pemilik tanah itu berkata lagi..
“Ambillah bagianmu dan pergilah; aku mau memberikan kepada orang yang masuk terakhir ini sama seperti kepadamu.”
“Tidakkah aku bebas mempergunakan milikku menurut kehendak hatiku? Atau iri hatikah engkau, karena aku murah hati?”
Ungkapan “iri hatikah engkau..” dapat diterjemahkan secara harafiah, “Apakah matamu jahat?” ini menunjukkan bahwa pekerja itu tidak bersyukur, dia dibutakan oleh rasa iri yang egois.
“Mata jahat” di dunia kuno adalah mata yang iri dan mendambakan apa yang menjadi milik orang lain. Itu adalah mata yang serakah..
Jika mata seorang tertuju pada hal-hal duniawi, harta benda sebagai nilai, kepentingan pribadi, dan keamanan duniawi, maka kegelapan dari nilai jahat itu adalah keadaan hati orang tersebut.
Ketika kita memusatkan perhatian pada sesuatu yang jahat, mata menjadi saluran yang melaluinya kejahatan memenuhi batin kita.
Sekali lagi masalah bukan pada ketidakadilan pemilik tanah, melainkan iri hati pekerja. Iri hati membuat dia tidak menggunakan akal sehat.
Ketika mereka menuduh pemilik tanah tidak adil, itu bukan karena mereka cinta keadilan, tetapi karena mereka egois…
Mereka tidak tahan melihat seseorang yang dipekerjakan pada menit-menit terakhir dibayar sama seperti mereka.
Yesus menutup perumpamaan ini dengan mengatakan..
“Demikianlah orang yang terakhir akan menjadi yang terdahulu dan yang terdahulu akan menjadi yang terakhir.” Ini pengulangan dari Matius 19:30, tetapi urutannya dibalik..
“Tetapi banyak orang yang terdahulu akan menjadi yang terakhir, dan yang terakhir akan menjadi yang terdahulu.”
Mereka yang dipekerjakan terakhir, tidak layak atas apa yang mereka terima. Namun mereka dibayar terlebih dahulu dan diperlakukan setara dengan mereka yang dipekerjakan pertama kali.
Dan mereka yang dipekerjakan pertama kali dibayar terakhir, dan dari sudut pandang mereka, mereka diperlakukan tidak adil, seolah-olah mereka setara dengan mereka yang terakhir.
Jadi perumpamaan ini berbicara tentang belas kasihan Allah. Disini, terlihat perbedaan antara belas kasihan dan kekikiran pekerja, yang menentang belas kasihan Allah.
Pemilik tanah ini menyediakan upah yang sama untuk semua pekerja, walau jangka waktu mereka bekerja berbeda.
Yang bekerja sepanjang hari tidak kehilangan apa pun. Keadilan ditegakkan dan belas kasihan ditambahkan.
Para pendengar Yahudi akan menganggap memberikan upah bahkan kepada mereka yang tidak mengharapkannya adalah hal yang saleh..
Jadi perumpamaan ini adalah pelajaran tentang rasa syukur dan motivasi dalam pelayanan.
Perumpamaan bukanlah tentang keselamatan atau memperoleh hidup kekal, karena keselamatan tidak diperoleh melalui perbuatan..
Perumpamaan ini dibuat Yesus untuk menjawab pertanyaan Petrus, “Kami ini telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Engkau; jadi apakah yang akan kami peroleh?”
Perumpaan ini merupakan motivasi seorang murid dalam melakukan pelayanan.
Kita harus melayani dengan rasa syukur, karena hanya melalui campur tangan Yesus saja, setiap murid akan menerima sesuatu.
Kita harus besukacita Ketika orang lain dipanggil kedalam kerajaan Allah, walau mereka tidak melayani sekeras kita.
Jika kita berpikir bahwa kita pantas mendapatkan sesuatu karena waktu, ketekunan, dan komitmen pelayanan kita, kita telah meniadakan nilai sebenarnya dari apa yang telah kita lakukan.
Semua orang yang menanggapi kasih karunia Allah dalam undangan kerajaan Yesus adalah murid-murid yang setara..
Poinnya adalah kita harus berhati-hati untuk tidak mengukur nilai kita berdasarkan apa yang telah kita lakukan dan apa yang telah kita korbankan.
Panggilan kita adalah panggilan kasih karunia, dan hati yang bersyukur akan mengabdi tanpa memikirkan imbalan atau tanpa membandingkannya dengan orang lain.
Seperti yang ditunjukkan oleh pemilik tanah, memikirkan imbalan dan membandingkan dengan orang lain akan menyebabkan kita mempertanyakan hikmat dan keadilan Tuhan dan menjadi iri terhadap murid-murid lain.
Biarkan Allah menjalankan kemurahannya kepada siapa saja, menurut ukuran Tuhan. Jangan menilai Tuhan, karena keadilan Tuhan itu sempurna.
Intinya, mari kita melayani. Jangan pertanyakan upah. Karena Allah akan memberikan upah kepada kita semua, yaitu upah hidup kekal.
Dalam pelayanan Tuhan, bukan siapa yang melayani lebih dahulu, tetapi siapa yang melayani dengan tulus dan rasa syukur.