Apakah Pameran Kebaikan yang dilakukan Farisi di Matius 23:5-7?

Semua pekerjaan yang mereka lakukan hanya dimaksud supaya dilihat orang; mereka memakai tali sembahyang yang lebar dan jumbai yang panjang;

mereka suka duduk di tempat terhormat dalam perjamuan dan di tempat terdepan di rumah ibadat; mereka suka menerima penghormatan di pasar dan suka dipanggil Rabi.” Matius 23:5-7

SEMUA yang dilakukan ahli taurat dan orang Farisi tujuannya untuk pertunjukkan, pamer kesalehan. Supaya terlihat mereka orang yang rohani dan beragama.

Apa yang mereka lakukan untuk mengesankan manusia. Tujuan mereka adalah untuk memuliakan diri mereka sendiri, bukan Tuhan.

Para pemimpin agama Yahudi memamerkan kesalehan mereka kemanapun mereka pergi. Ketika mereka berdoa, berpuasa, mereka akan memamerkan itu.

Ada dua bentuk penampilan secara fisik yang mereka lakukan untuk membuat oran terkesan. Memakai tali sembahyang dan jumbai yang Panjang..

Tali sembahyang atau filakteria, dari bahasa ibrani – tefillim sebuah nama yang berasal dari kata Ibrani yang diterjemahkan “frontal”

Tali sembahyang atau tefilim tadi bentuknya adalah kotak persegi kecil yang terbuat dari kulit hewan yang halal.

Kemudian diwarnai hitam, kulit tersebut dijahit menjadi sebuah kotak dengan menggunakan dua belas jahitan, masing-masing jahitan mewakili salah satu dari dua belas suku Israel.

Di setiap filakteri atau tefilim, ditempatkan salinan Keluaran 13:1-10 dan 13:11-16 dan Ulangan 6:4-9 dan 11:13-21.

Filakteri yang dikenakan di kepala memiliki empat bagian, masing-masing berisi salah satu teks pada selembar perkamen kecil.

Filakteri yang dikenakan di tangan berisi selembar perkamen tempat keempat teks ditulis.

Huruf Ibrani shin (y) tertulis di kedua sisi kotak yang dikenakan di kepala, dan tali pengikat kepala diikat membentuk huruf daleth (d) dan tali tangan membentuk huruf yodh (j).

Ketiga huruf tersebut akan membentuk Shaddai, salah satu nama Tuhan yang biasa diterjemahkan “Mahakuasa.”

Tali kulit panjang digunakan untuk mengikat satu kotak ke dahi dan satu lagi ke lengan dan tangan kiri, karena sisi kiri dianggap lebih dekat ke hati.

Mereka mengenakan ini untuk mematuhi secara harafiah nasehat dalam kitab ulangan,

Tetapi kamu harus menaruh perkataanku ini dalam hatimu dan dalam jiwamu; kamu harus mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu.” Ulangan 11:18

Tali sembahyang ini diikatkan di lengan kiri dan dahi oleh pria dewasa pada kebaktian pagi.

Orang-orang Yahudi kuno memahami bahwa perintah tersebut diberikan, bukan untuk dipahami secara harafiah namun sebagai simbol dari hukum Tuhan..

Dimana hukum Allah menjadi penuntun dalam kehidupan mereka, tidak hanya dalam apa yang mereka lakukan, yang diwakili oleh tangan, namun dalam apa yang pikiran, diwakili oleh dahi.

Pikiran dan tindakan mereka harus diarahkan oleh Firman Tuhan. Bukannya bertujuan untuk meningkatkan kepura-puraan dan kesombongan lahiriah manusia..

Instruksi tersebut dimaksudkan untuk meninggikan Tuhan dan mendekatkan umat-Nya kepada diri-Nya.

Seiring berlalunya waktu, banyak orang Yahudi yang semakin menyimpang, mereka melihat perintah tersebut sebagai alat untuk menjadikan diri mereka dominan di mata sesama orang Yahudi.

Sebagai sarana untuk mementingkan diri sendiri..

Beberapa ahli Taurat dan orang Farisi berpendapat bahwa filakteri bahkan lebih suci daripada pelat kepala emas yang dikenakan oleh imam besar, karena nama Tuhan ditulis dua puluh tiga kali dalam filakteri tetapi hanya sekali pada pelat kepala emas.

Tuhan telah sedemikian rupa diubah menurut gambar mereka sehingga banyak orang Farisi percaya bahwa Tuhan sendiri memakai filakteri.

Beberapa tulisan Yahudi dari masa intertestamental dan Perjanjian Baru memberikan kesan bahwa Allah sering dianggap tidak lebih dari seorang rabi yang dimuliakan yang mempelajari hukum tiga jam sehari.

Bila filakteri biasa dipakai pada waktu doa pagi, tetapi orang farisi memakainya terus menerus sebagai tanda spiritualitas yang lebih tinggi.

Mereka juga akan memperluas filakteri mereka, menjadikannya lebih besar dari biasanya sebagai tanda pengabdian yang lebih besar kepada Tuhan dibanding orang lain.

Dengan juga dengan jubah mereka, mereka akan memanjangkan jumbai jubah mereka.

Karena itulah Yesus menegor mereka, karena beragama hanya lahiriah dan pamer kesalehan.

Kemungkian banyak orang masa kini, menggunakan symbol-simbol agama dengan tujuan yang sama, yaitu menunjukkan mereka sebagai orang yang beragama..

Cara-cara seperti itu tidak menolong apa-apa dalam membangun iman. Agama sejati tidak ditonjolkan dalam bentuk symbol dan lahiriah, tetapi dalam hati..

Paulus mengatakan,

“Karena telah ternyata, bahwa kamu adalah surat Kristus, yang ditulis oleh pelayanan kami, ditulis bukan dengan tinta, tetapi dengan Roh dari Allah yang hidup, bukan pada loh-loh batu, melainkan pada loh-loh daging, yaitu di dalam hati manusia.” 2 Korintus 3:3

Suka Mencari Penghormatan

“..mereka suka duduk di tempat terhormat dalam perjamuan dan di tempat terdepan di rumah ibadat; mereka suka menerima penghormatan di pasar dan suka dipanggil Rabi.” Matius 22:6-7

Selain menggunakan simbol-simbol agama, mereka juga suka menonjolkan diri. Tidak ada kerendahan hati.

Para ahli Taurat dan orang-orang Farisi menyukai tempat terhormat dalam perjamuan. Mereka bersaing untuk mendapatkan tempat di meja tuan rumah agar bisa menjadi pusat perhatian.

Mereka akan sangat bangga bila mendapat tempat dibagian depan. Tempat duduk pada acara perjamuan makan, khusus diberikan kepada para tamu sesuai dengan pangkat atau status mereka.

Para tamu berbaring di dipan mengelilingi meja berbentuk U, dan tempat kehormatan ada dimeja tengah, dengan tuan rumah duduk di tengah dan tamu paling terhormat di kedua sisinya.

Intinya, semakin dekat duduknya dengan tuan rumah, maka semakin terhormat.

Ditempat ibadah, Sinagog, mereka suka menduduki tempat utama. Di sinagoga biasanya memiliki panggung yang ditinggikan di depan, tempat para pemimpin ibadah akan duduk.

Para rabi dan tokoh agama sering diminta untuk ikut serta membacakan kitab suci dan memberikan kotbah. Biasanya, mereka menggunakan kesempatan itu untuk menonjolkan diri di hadapan jemaat.

Seperti halnya farisi dan ahli taurat, para pemimpin gereja saat ini bisa jatuh dalam dosa menonjolkan diri. Dalam pelayanan tanpa disadari kita mengambil kemuliaan Tuhan untuk diri sendiri.

Selain mendapat kursi terhormat, para ahli Taurat dan orang Farisi juga senang mendapat salam hormat di pasar, dan dipanggil Rabi.

Rabi pada umumnya adalah seorang ahli Taurat, dan gelar tersebut biasanya mengacu pada kepala sekolah kerabian.

Mengapa mereka suka kalau dipanggil sebagai rabi? Karena itu merupakan gelar terhormat. Seperti gelar “dokter” kalau sekarang..

Padanan bahasa Latin untuk rabbi berasal dari docere, yang berarti mengajar dan merupakan istilah yang berasal dari kata dokter dalam bahasa Inggris.

Pada zaman Yesus, gelar Rabi membawa gagasan luhur tentang “yang tertinggi, yang mulia, yang paling berpengetahuan, yang agung,” dan sebagainya.

Seorang rabi bersikeras agar dia dikuburkan dengan pakaian putih ketika dia meninggal, karena dia ingin dunia tahu betapa layaknya dia menghadap hadirat Tuhan.

Saat mereka melakukan perjalanan melalui kota, mereka senang diperlakukan sebagai orang yang istimewa.

Tulisan-tulisan para rabi melaporkan bahwa seorang gubernur kafir di Kaisarea dengan datar menyebut wajah para rabi sebagai wajah malaikat.

Bahkan ada hal yang sangat fatal, karena mereka sangat dihormati sehingga, menurut salah satu bagian dalam Talmud (Sanhedrin, 88b)…

Perbuatan yang melanggar perkataan para ahli Taurat dianggap lebih berat daripada Ketika kita melanggar kata-kata Kitab Suci..

Artinya, perkataan para rabi ditempatkan lebih tinggi dari pada perkataan Alkitab.

Ketika seseorang selalu ingin diistimewakan, disanjung, dihormati dan merasa paling benar, maka tidak akan lama dia akan mengangkat diri sebagai Tuhan..

Kita perlu ketahui, dalam pandangan Tuhan, tidak ada posisi yang tertinggi selain kerendahan hati. Jabatan tertinggi kita adalah pelayan atau hamba..

Apa pun pangkat, status dan gelar kita di dunia ini, jangan lah itu menjadi kesombongan. Jangan mengambil kemuliaan Tuhan untuk diri kita sendiri..

Karena kita semua adalah sama. Sama-sama orang berdosa dan kita adalah anak Allah. Kita semua saudara dalam Tuhan. Kita harus saling merendahkan hati kita dan saling mendahulukan..

“..dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri;

dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga..” Filipi 2:3

“Tinggi hati mendahului kehancuran, tetapi kerendahan hati mendahului kehormatan..” Amsal 18:12

Bagikan:

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *