7 tanda Anda Berada di Gereja Postmodern
Oleh Joseph Mattera
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Gereja saat ini adalah invasi halus pemikiran postmodern.
Pada intinya, postmodernitas mengingkari keberadaan kebenaran absolut. Sebaliknya, ia mengangkat subjektivitas, pengalaman pribadi, dan tren budaya di atas wahyu ilahi.
Sayangnya, arus filosofis ini telah meluap ke dalam Gereja. Ketika sebuah jemaat menganut postmodernisme, mau tidak mau ia mengkompromikan Injil yang menjadi panggilannya untuk diwartakan.
Berikut adalah tujuh tanda bahwa Anda mungkin berada di gereja postmodern.
- Mereka tidak mengkhotbahkan keselamatan yang mutlak
Pesan utama Kitab Suci adalah Injil Yesus Kristus yang tak pernah berubah: bahwa keselamatan hanya ditemukan di dalam Kristus, oleh kasih karunia melalui iman, terlepas dari perbuatan. Namun, di banyak gereja postmodern, kebenaran ini dilemahkan atau diabaikan sama sekali.
Alih-alih menyatakan bahwa umat manusia berada di bawah dosa dan membutuhkan penebusan melalui salib, pesan-pesan sering kali dibingkai dalam bahasa yang samar tentang “perjalanan rohani” atau “menemukan jati diri terbaik.”
Eksklusivitas Kristus (Yohanes 14:6; Kisah Para Rasul 4:12) disangkal atau diremehkan, agar tidak menyinggung para pencari.
Pergeseran ini merampas keunggulan profetik gereja dan mengubahnya menjadi tak lebih dari sekadar klub sosial keagamaan.
- Mereka memiliki standar moral yang rendah terhadap pelayan dan pemusik
Dalam Kekristenan historis, mereka yang melayani—baik dari mimbar maupun di mimbar ibadah—dituntut untuk memenuhi standar Alkitab yang tinggi.
Para pemimpin dan pelayan diharapkan untuk mencontohkan kekudusan, pertobatan, dan gaya hidup yang konsisten dengan ajaran Kristus.
Namun, dalam gereja postmodern, pragmatisme seringkali mengalahkan kemurnian. Jika seseorang pandai bernyanyi, piawai bermain gitar, atau mampu menarik perhatian banyak orang, maka kehidupan moralnya dianggap tidak relevan.
Sikap ini secara langsung bertentangan dengan harapan para rasul bahwa para pemimpin harus “tak bercacat” (1 Timotius 3:2).
Ketika gereja menurunkan standar kepemimpinan, mereka tidak hanya mencemarkan nama baik Firman Tuhan, tetapi juga membingungkan jemaat tentang arti kekudusan yang sebenarnya.
- Khotbah adalah pesan-pesan pengembangan diri tanpa ada kaitannya dengan dosa dan pertobatan
Ciri khas lain dari gereja-gereja postmodern adalah khotbah-khotbahnya lebih mirip TED Talks daripada eksposisi Alkitab.
Fokusnya adalah pada bagaimana “mengatasi stres”, “menemukan kebahagiaan”, atau “mengungkap potensi Anda”.
Meskipun beberapa topik ini mungkin menawarkan nilai praktis, topik-topik tersebut menjadi tidak relevan secara rohani ketika dipisahkan dari kerangka Alkitab yang lebih luas.
Khotbah yang sejati harus mengkonfrontasi dosa, menunjuk pada salib, dan memanggil orang untuk bertobat (Kisah Para Rasul 2:38).
Tanpa ini, gereja menjadi seminar motivasi yang ditaburi ayat-ayat Alkitab. Khotbah postmodern hanya memuaskan rasa ingin tahu (2 Timotius 4:3) alih-alih memanggil orang untuk menjadi murid Kristus yang radikal.
- Pandangan mereka tentang etika masyarakat bersifat relativistik
Salah satu tanda paling jelas infiltrasi postmodern adalah relativisme moral dalam isu-isu sosial.
Gereja-gereja yang mendukung pernikahan sesama jenis, menghindari pembahasan aborsi, atau tetap diam mengenai pertanyaan-pertanyaan moral yang jelas menunjukkan bahwa mereka lebih mementingkan penerimaan budaya daripada kesetiaan alkitabiah.
Firman Tuhan berbicara dengan jelas tentang rancangan Allah bagi pernikahan (Kejadian 2:24; Matius 19:4-6) dan tentang kesucian hidup manusia (Mazmur 139:13-16).
Ketika sebuah gereja menolak untuk menyatakan kebenaran-kebenaran ini karena takut dicap “tidak toleran”, ia mengkhianati kesetiaannya kepada Kristus.
Relativisme menggantikan kesaksian kenabian gereja dengan ruang gema yang politis.
- Siapa pun dapat menjadi anggota tanpa pemeriksaan yang tepat mengenai doktrin atau status keselamatan
Keanggotaan dalam tubuh Kristus bukan sekadar menandatangani kartu atau bergabung dalam daftar.
Secara alkitabiah, gereja adalah komunitas perjanjian yang terdiri dari mereka yang mengakui Kristus sebagai Tuhan, telah dibaptis, dan berjalan dalam iman dan pertobatan.
Namun, di gereja postmodern, hambatan keanggotaan hampir tidak ada. Siapa pun yang hadir secara teratur, menyumbang dana, atau sekadar menunjukkan minat dapat diterima sebagai anggota—terlepas dari keyakinan atau gaya hidup mereka.
Kebijakan pintu terbuka seperti itu mungkin tampak inklusif, tetapi justru merusak gambaran alkitabiah tentang gereja sebagai umat kudus (1 Petrus 2:9) dan membuat jemaat rentan terhadap kebingungan doktrinal dan moral.
- Fokusnya lebih pada pengalaman beribadah daripada kedalaman teologis dalam berkhotbah
Musik dan ibadah dapat dengan kuat menuntun orang ke hadirat Tuhan, tetapi di banyak gereja postmodern, “pengalaman” ibadah menjadi tujuan utama.
Lampu, mesin kabut, dan musik yang penuh emosi menjadi pusat perhatian, sementara kedalaman teologis dan eksposisi Alkitab dikesampingkan.
Ketika penyembahan dipisahkan dari kebenaran, penyembahan itu menjadi hiburan, alih-alih penyembahan.
Yesus berkata bahwa Bapa mencari mereka yang menyembah “dalam roh dan kebenaran” (Yohanes 4:24). Tanpa pengajaran yang benar, penyembahan dapat hanyut ke dalam emosi—kenikmatan sesaat yang tidak menghasilkan pemuridan yang langgeng. Gereja yang sehat menyeimbangkan penyembahan yang penuh semangat dengan khotbah yang kaya akan doktrin.
- Tujuan utama mereka adalah untuk mengumpulkan banyak orang — bukan untuk menjadikan murid
Akhirnya, mungkin tanda paling jelas dari gereja postmodern adalah obsesinya terhadap angka. Kesuksesan diukur dari kehadiran jemaat, persembahan, dan keterlibatan di media sosial, alih-alih dari perubahan hidup.
Yesus tidak pernah memerintahkan kita untuk menarik banyak orang; Dia memerintahkan kita untuk “menjadikan semua bangsa murid-Ku” (Matius 28:19).
Kerumunan orang bisa berubah-ubah, terbukti dari mereka yang berteriak “Hosana” di satu minggu (Minggu Palma) dan “Salibkan Dia” di minggu berikutnya.
Di sisi lain, pemuridan membutuhkan komitmen, ketaatan, dan ketekunan. Ketika gereja memprioritaskan popularitas daripada pemuridan, mereka mengkhianati misi yang Kristus percayakan kepada mereka.
Kesimpulan: Panggilan untuk melawan arus postmodern
Infiltrasi postmodernitas ke dalam gereja bukan sekadar perdebatan filosofis — melainkan krisis spiritual.
Jika gereja berhenti mewartakan kebenaran absolut, ia kehilangan identitasnya sebagai “tiang penopang dan dasar kebenaran” (1 Timotius 3:15).
Setiap pendeta, pemimpin, dan orang percaya harus bertanya: Apakah gereja saya sedang terombang-ambing ke dalam kompromi postmodern?
Apakah kita mengkhotbahkan prinsip-prinsip keselamatan yang absolut? Apakah kita menuntut para pemimpin untuk mengikuti standar-standar Alkitab?
Apakah kita bersedia menghadapi dosa, meneguhkan rancangan Allah untuk moralitas, dan menjadikan murid, bukan konsumen?
Gereja Yesus Kristus tidak mampu mencerminkan relativisme budaya. Sebaliknya, kita harus berpegang teguh pada kebenaran yang telah disampaikan kepada orang-orang kudus (Yudas 3), mewartakan Injil yang tak berubah dengan berani, dan membangun jemaat yang berakar pada kekudusan, pertobatan, dan pemuridan.
Hanya dengan cara demikianlah kita dapat melawan arus postmodernisme dan tetap setia kepada Tuhan yang menyatakan, “Langit dan bumi akan berlalu, tetapi perkataan-Ku tidak akan berlalu” (Matius 24:35).
Sumber: https://www.christianpost.com/voices/7-signs-you-are-in-a-postmodern-church.html
Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya
Join now