9 Syarat menjadi Diakon dan Diakones yang Berhasil.

Dalam memilih diaken pada gereja mula-mula, rasul-rasul tidak memilih karena status sosial, Pendidikan, kebangsaan, status ekonomi atau latar belakang rasnya.

Beberapa syarat utama yang harus dimiliki oleh orang-orang yang ingin melayani di jemaat. Mereka harus memiliki reputasi yang baik, penuh dengan Roh, Bijaksana.

Berikut ada 9 syarat menjadi pelayan diakonia yang baik berdasarkan 1 Timotius 3:8-10.

1. Harus “Orang Terhormat”

Bagian kalimat “haruslah orang terhormat” (1 Timotius 3:8, NIV.) memberikan berbagai macam terjemahan: “hormat,” “menunjukkan rasa hormat,” “sungguh-sungguh,” dan “agung.”

Walaupun terjemahannya berbeda-beda, namun penekanannya jelas. Seorang diaken atau diakenes dikenal sebagai seorang yang memiliki karakter tegas dan terhormat, baik di lingkungan gereja maupun di luar gereja, dikenal adil, dapat dipercaya, jujur, dan bijaksana dalam keadaan apapun.

Seorang pemimpin gereja yang berdiri teguh secara moral dan rohani supaya tidak menimbulkan kecurigaan dan prasangka.

2. Harus dapat Dipercaya Di Dalam Perkataan

Paulus mengingatkan bahwa diaken “jangan bercabang lidah” (1 Timotius 3:8). Bagian kalimat itu juga diterjemahkan sebagai “tulus” dan hal itu membicarakan tentang perkataan seseorang dan hubungannya yang mengindikasikan-bahwa dia tidak bercabang lidah, menyeleweng, atau tidak jujur.

Lidah yang tidak tulus adalah lidah yang berbohong, dan seorang Kristen harus jujur dalam perkataan.

Dalam perkataan dan perbuatan, seorang Kristen harus bisa dipercaya. Panggilan untuk dipercaya kepada diaken atau diakenes adalah suatu panggilan dalam kata-kata dan perkataan untuk menjunjung tinggi nama baik gereja dan Kristus, dan menghapus gosip jahat.

Rasul Yakobus mengatakan, “Jika ya, hendaklah kamu katakan ya, jika tidak hendaklah kamu katakan tidak” (Yakobus 5:12).

3. Menguasai Diri

Paulus menasihati para diaken “jangan penggemar anggur” (1 Timotius 3:8). Nasihat ini dapat disimpulkan dengan kata penguasaan diri, yang “mengajar kita untuk membuang segala sesuatu yang menyakitkan dan menggunakan dengan bijaksana yang menyehatkan” (PP 562).

Penguasaan diri secara Alkitabiah tidak hanya berpantang pada alkohol, tetapi berbagai bentuk kecanduan-obat-obatan, rokok, pikiran cabul, pornografi, hobi-yang menyita perhatian kita sehingga jauh dari Allah, jauh dari keluarga kita, dan dari pekerjaan pelayanan.

Beberapa macam kecanduan yang menarik perhatian kita sehingga jauh dari Allah, dan terbuka terhadap dosa yang mempengaruhi kehidupan dan teladan hidup dari seorang diaken atau diakenes.

4. Jujur

Nasihat Paulus bahwa diaken harus “jangan serakah akan uang” (1 Timotius 3:8), suatu tuntutan yang tegas terhadap kejujuran di bidang keuangan.

Perintah “Jangan mencuri” (Keluaran 20:15) adalah lebih berhubungan dengan perlindungan terhadap kestabilan keuangan gereja dan kejujuran.

Di sini diaken, sebagai seorang yang mengumpulkan dan menghitung persembahan, dan kadang-kadang mengelola penyaluran dana-dana gereja, harus mengaturnya dengan sangat teliti.

Keuangan gereja adalah keuangan milik Allah yang digunakan untuk berbagai pekerjaan pelayanan, baik di dalam maupun di luar gereja.

Suatu penyelewengan atau penyalahgunaan keuangan gereja akan membawa gereja dan pelayanannya ke dalam mara bahaya.

6. Memelihara Kehidupan secara konsisten

Rasul itu menekankan-“memelihara rahasia iman dalam hati nurani yang suci. (1Timotius 3:9)-menuntut bahwa seorang diaken tidak boleh bercabang lidah.

Pernyataan iman dan praktik hidup seorang diaken tidak boleh bertentangan. Suatu kehidupan dimana pernyataan kebenaran dan perbuatan yang berbeda, akan merusak baik kehidupan Kristiani maupun iman.

Mereka menghidupkan suatu kehidupan di mana dosa tidak memiliki tempat, dan tidak berkompromi dengan Setan.

Di dalam kehidupan seperti itu, tidak ada tempat untuk perbuatan asusila, pencurian uang, praktik-praktik ketidakjujuran, benci terhadap sesama manusia, sombong, atau mencampur aduk kebohongan dengan Injil.

Diaken harus memiliki tingkat kedewasaan rohani yang mungkin tidak didapat di dalam diri seseorang yang baru di dalam iman.

Para diaken harus memiliki pengalaman belajar Firman Allah dan menghidupkan kehidupan yang saleh yang membawa kepada suatu hubungan yang erat dengan Allah.

6. Menjadi Sempurna

Tidaklah cukup bagi diaken dan diakenes untuk “memelihara rahasia iman dalam hati nurani yang suci.” Mereka harus “diuji… [dan] ternyata mereka tak bercacat” (1 Timotius 3:10).

“Tidak bercacat” bukan berarti suatu keadaan tidak berdosa, tetapi lebih tepatnya adalah suatu kehidupan yang sesuai dengan iman yang mereka telah terima di dalam Kristus Yesus.

Kehidupan yang seperti ini disebut sempurna; di dalam hidup orang-orang seperti ini akan terlihat suatu bayangan kehidupan Kristus.

Di dalam ayat berikut menyatakan bahwa melalui beberapa bentuk pemeriksaan dan penelitian perwakilan gereja, calon diaken akan diuji dan diakui untuk melakukan pelayanan ini.

Mereka menjadi tidak bercacat di dalam hidup mereka dan sempurna di dalam pelayanan mereka.

7. Menjadi Pasangan yang Bertanggungjawab

Rasul Paulus di dalam 1 Timotius 3:11, 12 memperkembang gaya hidup yang harus menandai keluarga diaken:

“Demikian pula isteri-isteri hendaklah orang terhormat, jangan pemfitnah, hendaklah dapat menahan diri dan dapat dipercayai dalam segala hal. Diaken haruslah suami dari satu isteri.”

Banyak ahli yang melihat pada bagian akhir ayat ini yang menolak pernikahan yang memiliki dua istri atau suami atau poligami, yang sudah biasa terjadi zaman sekarang.

Ya, sudah biasa terjadi. Seorang diaken atau diakenes harus menolak kebiasaan sebelum menjadi orang Kristen yaitu menikahi lebih dari satu orang.

Isu-isu terjadi melampaui batas status pernikahan. Seorang yang tidak menikah atau seorang duda/janda boleh dipilih ke dalam pelayanan ini sebagaimana orang yang menikah.

Status moral dan tabiat seorang diaken atau diakenes yang ditekankan di sini. Ketika seorang diaken atau diakenes menikah, maka hubungan pernikahan itu harus suci, saling mengasihi, dan sempurna.

Tujuannya jelas-untuk mencegah masuknya dosa ke dalam pasangan pernikahan yaitu kepada suami dan istri, yang akan merusak hubungan keluarga dan memberi pengaruh negatif kepada gereja.

8. Menjadi Orangtua yang Saleh

Dalam hal mengasihi pasangan nikah yang setia, diaken dan diakenes diharapkan “mengurus anak-anaknya” (1 Timotius 3:12).

Orangtua adalah sebagai model utama yang sangat berperan bagi anak-anak. Anakanak belajar melalui pengamatan dan teladan.

Teladan diaken dan diakenes mengalir di dalam kasih sayang mereka, pernikahan yang berpusat pada Kristus akan melayani, sebagai sebuah pelajaran penting untuk harga diri anak-anak mereka, citra diri mereka, masa depan mereka, dan pertumbuhan hubungan mereka dengan Kristus.

Rumah tangga yang berpusat pada Kristus akan menempatkan Allah dan Firman-Nya sebagai pusat semua aktivitas.

Keluarga akan membaca Alkitab bersama-sama, berdoa dan beribadah bersama-sama dan berhubungan erat dengan komunitas gereja.

9. Mengurus Keluarga dengan Baik

Akhirnya, Paulus memberi nasihat kepada para diaken untuk mengurus “keluarganya dengan baik” (1 Timotius 3:12).

Suatu rumah tangga yang tidak dipimpin sesuai dengan cinta kasih dan prinsip-prinsip Kristen, tidak memiliki kuasa untuk menyebarluaskan Injil.

Sebagai pemimpin gereja yang bertanggungjawab, diaken diharapkan untuk mengurus rumah tangga mereka dengan baik dengan memperhatikan pendidikan anak-anak mereka untuk takut akan Tuhan.

Jika diaken mengelola rumah tangganya dengan baik, maka mereka diharapkan dapat mengelola gereja dengan baik juga.

Sumber: Pedoman Diakon dan Diakones, 42-47

Bagikan:

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *