4 Penyebab tingginya perceraian pada masa pandemi Covid-19

Sebelum pandemic virus corona, angka perceraian sudah tinggi. Harapan bahwa pandemic akan semakin menguatkan pernikahan.

Karena seiring waktu bersama keluarga semakin banyak, namun tampaknya ini tidak sepenuhnya benar.

Beberapa efek pandemic telah mempangaruhi ekonomi, sistem pendidikan, dan lingkungan.

Perintah tinggal di rumah di hampir seluruh Negara telah berhasil mendatangkan malapetaka pada perkawinan.

Pembicaraan diantara ahli hubungan dan pengacara keluarga bahwa tingkat perceraian akan melonjak pasca pandemic.

Beberapa pasangan yang sekarang terjebak di rumah dipaksa untuk berinteraksi dan terlibat satu sama lain dengan cara yang berbeda.

Mereka mungkin bisa mengatasi atau menghindari masalah jika mereka bekerja, bersosialisasi, dimana tingkat pertemuan mereka tidak penuh seharian.

Tekanan pandemi pada pernikahan

Pandemic telah memberi tekanan pada finansial, emosional, dan fisik.

Beberapa orang terpaksa melihat pasangan mereka dengan seksama. Terjadi ketegangan dan tidak ada tempat untuk pergi.

Jadi ketika mereka menghabiskan lebih banyak waktu bersama, dalam jarak dekat, yang terjadi justru pertengkaran dan pengajuan perceraian.

Angka perceraian

Di Tiongkok, Bloomberg melaporkan lonjakan perceraian pada Maret setelah pasangan suami-isteri di karantina selama berminggu-minggu untuk menghentikan penyebaran COVID-19.

Kota Xian, di China tengah, dan Dazhou, di provinsi Sichuan, keduanya mengalami peningkatan.

“Jumlah pengajuan perceraian yang mencapai rekor tertinggi pada awal Maret, yang menyebabkan antrian panjang di kantor-kantor pemerintah.”

Di Kota Miluo di provinsi Hunan, beberapa anggota staf “bahkan tidak punya waktu untuk minum air”

Karena begitu banyak pasangan yang mengantri untuk mengajukan gugatan cerai, menurut laporan media pemerintah pada bulan Maret.

Di beberap kota di Indonesia baru-baru ini dilaporkan dimedia massa, seperti Bandung. Terjadi antrian panjang pengajuan perceraian.

Angkat perceraian meningkat juli dan agustus, mencapai 800 – 900-an perkara.

Kota semarang sendiri sekitar 533 kasus perceraian yang diajukan ke pengadilan agama, periode maret-mei 2020.

Penyebab perceraian

Penyebab perceraian rata-rata karena masalah ekonomi, perselingkuhan. Kemudian mengarah pada pertengkaran.

Selain itu, sebuah penelitian dari University of Washington menunjukkan bahwa perceraian biasanya meningkat setelah bulan-bulan musim panas.

Setelah liburan ketika pasangan tinggal bersama untuk waktu yang lebih lama. Karena itulah Januari disebut bulan cerai.

Demikian pula, pasangan yang berjauhan, terpaksa mengambil waktu lama berpisah atau mengevaluasi ulang rencana pernikahan.

Hal ini dapat menciptakan serangkaian pemicu tekanan baru dan menyebabkan putus cinta.

Tetapi tidak adil bila sepenuhnya menyalahkan virus corona sebagai penyebab meningkatnya perceraian dan masalah rumah tangga.

Dalam artikel Spectrum News, seorang ahli saraf yang berbasis di New York mengatakan banyak kliennya sudah tahu bahwa mereka memiliki masalah sebelum COVID-19.

Kemudian masalah mereka semakin memburuh selama karantina.

Orang-orang yang bercerai atau mengakhiri hubungan mereka sering menyebut kurangnya komitmen.

Ketidakcocokan, perselingkuhan, dan konflik yang terus-menerus sebagai alasan untuk berpisah.

Teori pernikahan

Satu studi dari Institute for Family Studies, yang dijuluki “teori pernikahan Goldilocks”, mengamati bagaimana usia memengaruhi perceraian.

Terungkap bahwa menikah terlalu dini atau terlambat dapat membahayakan pernikahan Anda.

Tetapi menikah di usia akhir 20-an atau awal 30-an akan meningkatkan peluang Anda untuk pernikahan yang sukses.

Penelitian ini dibagi menjadi lima kelompok umur yang berbeda.

Mereka yang menikah di bawah usia dua puluh tahun memiliki risiko lebih tinggi untuk bercerai, sekitar 38%.

Rentang usia 20-24 tahun menunjukkan tingkat perceraian sebesar 27%, sedangkan usia 25-29 dan 30-34 tahun memiliki tingkat perceraian masing-masing 14% dan 10%.

Mereka yang menikah di atas usia 35 tahun memiliki tingkat perceraian sebesar 17%.

Studi yang lebih baru menunjukkan data serupa. Menurut Biro Sensus, usia rata-rata menikah pada 2019 adalah 28 tahun untuk wanita dan 30 tahun untuk pria.

Perbandingan penelitian

Sebagai perbandingan, Atlantik melaporkan usia rata-rata pernikahan pada tahun 1990 adalah 23 tahun untuk wanita dan 26 tahun untuk pria.

Mungkin saja tren menikah di usia yang lebih tua berkorelasi langsung dengan tren tingkat perceraian saat ini.

Dimana yang sebenarnya sedang menurun di kalangan generasi muda.

Alasan penurunan ini juga bisa jadi karena, secara keseluruhan, jumlah orang yang menikah telah menurun.

Tampaknya pasangan saat ini mengambil pendekatan yang berbeda (pernah dianggap non-tradisional)

Dan menghabiskan waktu hidup dengan pasangan mereka meskipun belum menikah.

Kumpul kebo sebelum menikah bisa menjadi faktor mengapa pasangan mungkin menunggu lebih lama untuk menikah.

Di sisi lain, kita dapat mengatakan bahwa tingkat perceraian di antara pasangan yang berusia di atas 50 tahun mengalami peningkatan karena mereka menikah di usia yang lebih muda.

Apakah hubungan dengan covid-19?

Tapi kita masih bertanya-tanya: Apakah pandemi COVID-19 telah menyebabkan tingkat perceraian meroket?

Menyalahkan pandemic sama saja dengan menyalahkan orang lain atas kesalahan yang kita buat.

Seharusnya pandemic akan semakin menguatkan keluarga. Karena semakin banyak waktu bersama, semakin dekat satu sama lain.

Kalaupun ekonomi keluarga merosot, semestinya suami-isteri menghadapi bersama.

Berdoa bersama dan berusaha bersama saling mendukung untuk menjaga layar tetap berkibar.

Tetapi kembali lagi kepada persoalan komitmen dan janji pernikahan. Juga pemahaman terhadap pernikahan.

Memang penyebab kenapa pernikahan sering berkhir dengan perceraikan karena pandangan yang salah terhadap lembaga pernikahan.

4 Pengaruh terhadap perceraian

Paling sedikit ada 4 yang mempengaruhi penyebab mengapa pasangan suami-isteri begitu mudah mengakhiri pernikahan mereka.

1. Sekularisme

Sekularisme telah menyebabkan hilangnya rasa sakral dalam pernikahan. Pernikahan dianggap lembaga sosial yang bisa diakhiri kapan saja.

Pernikahan tidak lagi dianggap oleh banyak orang sebagai perjanjian seumur hidup, sakral yang disaksikan dan dijamin oleh Tuhan sendiri.

Tetapi lebih sebagai kontrak sosial sementara, diatur semata-mata oleh hukum perdata.

2. Humanisme

Humanisme mengajarkan bahwa pernikahan adalah lembaga manusia dan bukan lembaga ilahi.

Pernikahan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan seseorang: sosial, seksual, emosional, dan keuangan.

Dengan demikian, ketika kebutuhan tersebut tidak lagi dipenuhi, kontrak pernikahan dapat diakhiri kapan saja.

3. Selfisme

Selfisme mengatakan kita memiliki hak untuk mencapai pemenuhan diri, kemandirian, dan pengembangan diri.

Jika pernikahan menjadi batu sandungan bagi aktualisasi diri, itu harus dibubarkan.

Fritz Perls mengungkapkannya dengan cara ini:

“Saya melakukan bagian saya, dan kamu melakukan bagianmu. Saya tidak di dunia ini untuk memenuhi harapan Anda, dan Anda tidak di dunia ini hidup untuk saya. Dan jika kebetulan kita bertemu, itu indah. ”

4. Relativisme

Relativisme dalam isu-isu moral menyetujui mengakhiri hubungan perkawinan dan pembentukan hubungan-hubungan baru.

Seorang anak humanisme dan relativisme percaya bahwa perceraian “tidak ada salah” mereka membuat pembubaran perkawinan sangat mudah.

Betapa menyedihkan pernikahan hari ini! Apa yang telah dipersatukan Allah telah dipisahkan manusia.

Yang mana seharusnya apa yang telah dipersatukan oleh Allah janganlah diceraikan oleh manusia, kecuali maut.

Fondasi Pernikahan.

Pernikahan itu seperti rumah. Supaya bertahan, maka dibutuhkan pondasi yang kuat.

Batuan dasar yang mendasari fondasi pernikahan adalah perjanjian bersama yang tanpa syarat.

Apakah itu masalah dari luar atau dari dalam, pernikahan akan tetap bertahan.

Seharusnya pernikahan dibangun di atas perjanjian iman. Komitmen bersama, baik waktu senang, susah, sakit, sehat, kaya, miskin, dll.

Komitmen dan keyakinan perjanjian ini mempersatukan hidup kita dalam perkawinan kudus memberi kita alasan untuk percaya bahwa Tuhan telah mempersatukan hidup kita, bahkan ketika pernikahan kita mengalami goncangan.

Jadi, walau Tampaknya COVID-19 bisa menjadi alasan beberapa pasangan menyerah pada perceraian atau perpisahan, tetapi jelas itu bukan faktor yang memengaruhi hubungan mereka.

Tidak adanya komitmen, itulah penyebabnya.

Bagikan:

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *