4 Cara Membangun Karakter Untuk Kekekalan
Daftar isi:
Teks: Ulangan. 6:1 , 2 , 5-7 ; Amsal 22:6
Dalam dunia yang berubah ini, nilai-nilai keluarga juga semakin berkurang, moral juga semakin rusak dan kondisi rohani anak-anak kita dipertaruhkan.
Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk mencurahkan waktu dan energi mereka untuk membangun fondasi karakter anak mereka.
Kita harus memilih apakah anak-anak kita akan dibentuk oleh orang tua yang rohani atau akan dibentuk oleh dunia.
Para ahli teori moral seperti Robert Peck, Robert Havighurst, dan Lawrence Kohlberg memberi tahu kita bahwa masa kanak-kanak adalah masa kritis pembentukan karakter seorang anak.
Faktanya, selama tujuh tahun pertama fondasi karakter anak sudah cukup mapan.
BERIKUT INI ADA 4 CARA UNTUK MEMBANGUN KARAKTER
1. Mengajar dengan ajaran Tuhan
Kewajiban orang tua dijelaskan dalam Ul. 6:1 , 2 , 5-7 .
“Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu,”
Teks-teks ini mencatat bahwa Tuhan menyuruh umat-Nya untuk mengajar anak-anak mereka tentang kesetiaan kepada Tuhan dan takut akan Tuhan.
Orang tua mengajar dengan rajin dan sungguh-sungguh. Mengajarinya dengan nilai-nilai rohani dan keyakinan penting seperti cinta, rasa hormat, kejujuran, dan kebaikan.
Orang tua juga perlu mengajar secara terus menerus dan dengan ketekunan.
“ Haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.” Ulangan 6:7.
Artinya Kita tidak boleh melewatkan kesempatan karena kita terlalu lelah di penghujung hari, atau karena anak-anak sibuk dengan permainan mereka, atau karena semua orang sedang sibuk dengan gadget mereka.
Samuel adalah salah satu contoh terbaik dari kesetiaan rohani dalam Perjanjian Lama. Dia tetap taat kepada Tuhan sepanjang hidupnya.
Dia dibesarkan di rumah tangga Eli pada saat Eli juga menjadi imam besar. Dia telah menyaksikan Eli kehilangan anak-anaknya, binasa karena kejahatan mereka.
Dia telah melihat kesalahan yang telah dilakukan imam Eli dan kesalahan yang seharusnya dia hindari.
Tetapi Sayangnya, Samuel juga gagal seperti halnya Eli – ia kehilangan anak-anaknya dengan cara yang persis sama (lihat 1 Samuel 8:3 ).
Menjadi pemimpin yang hebat tidak menjamin bahwa kita akan menjadi orang tua yang efektif.
Pelatihan anak membutuhkan waktu. Eli dan Samuel terlalu sibuk melayani Tuhan untuk meluangkan waktu untuk melatih putra-putra mereka atau untuk membangun hubungan yang dekat dan berpengaruh dengan mereka.
Mereka gagal mematuhi perintah untuk mengajar anak-anak mereka. padahal Tuhan sudah katakan, ketika “Mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.” ( Ul. 6:7 ).
2. Mengajar dengan Contoh
Ada pepatah lama mengatakan, “Perbuatan lebih nyarin bunyinya dari pada kata-kata.” Jika ingin efektif, orang tua harus lebih dahulu mendidik diri mereka.
Orang tua sendiri harus mencontohkan nilai-nilai dan keyakinan yang mereka pegang teguh. Anak-anak akan memiliki rasa hormat yang lebih besar terhadap pengajaran jika mereka menyaksikan teladan ayah dan ibu mereka.
Paulus mengatakan dalam Filipi 4:9, “Dan apa yang telah kamu pelajari dan apa yang telah kamu terima, dan apa yang telah kamu dengar dan apa yang telah kamu lihat padaku, lakukanlah itu. Maka Allah sumber damai sejahtera akan menyertai kamu.”
Orang-orang Kristen Filipi melihat teladan hidup Paulus dan itu mereka contoh. Tidak heran gereja di Filipi begitu sehat dan bahagia.
Jadi, Jika kita ingin anak-anak kita menjadi baik, kita harus terlebih dahulu menunjukkan kebaikan, jika kita ingin mereka mencintai Tuhan dan menghormati Sabat-Nya, kita harus menunjukkan kepada mereka bagaimana kita mencintai Tuhan dan bagaimana kita memelihara Hari Kudus-Nya.
3. Temukan Kepribadian Anak
Dalam Amsal 6:22 kita menemukan ayat yang sudah dikenal kebanyakan orang Kristen, dikatakan, “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu..”
Melatih dan mengembangkan karakter anak mengharuskan orang tua menyadari pentingnya mengenali setiap anak mereka.
Mendidik anak-anak adalah melatih mereka di jalan yang harus mereka tempuh—yaitu, sesuai dengan bakat atau kepribadian mereka.
Amsal 20:11-12 mengatakan, “Anak-anak pun sudah dapat dikenal dari pada perbuatannya, apakah bersih dan jujur kelakuannya. Telinga yang mendengar dan mata yang melihat, kedua-duanya dibuat oleh TUHAN.”
Orang tua akan menemukan karakteristik anak mereka ketika mereka mempelajarinya dengan cermat, menggunakan “telinga yang mendengar dan mata yang melihat”.
Amati, dengarkan, dan habiskan waktu bersama anak Anda untuk menemukan minat, kecenderungan, kekuatan, dan kelemahannya. Bantulah anak itu menjadi apa yang Tuhan maksudkan baginya.
4. Ajari Anak Anda Untuk Berpikir
Meskipun penting untuk mengajar melalui teladan dan ajaran, tetapi lebih penting lagi untuk mengajar anak kita berpikir untuk dirinya sendiri.
Dalam pembentukan karakter, anak-anak harus didorong untuk memikirkan nilai-nilai moral dan agama secara jernih, sehingga mereka dapat memperjelas nilai-nilai mereka sendiri dan melihat akibat dari tindakan mereka.
Dalam bukunya Help Your Child Learn Right From Wrong , Sidney Simon menyarankan agar orang tua meluangkan waktu untuk membantu anak-anak mereka mendiskusikan nilai-nilai hidup Kristen.
Secara aktif memilih apa yang mereka Yakini dan memilih apa yang benar, menghargai mereka, sehingga mereka dapat bertindak dengan benar sesuai dengan yang mereka Yakini.
Di banyak rumah tangga Kristen, seorang anak diberi tahu apa yang boleh atau tidak boleh dia lakukan,
Tetapi dia tidak dilatih untuk memahami alasannya sesuatu itu tidak boleh dan boleh dilakukan.
Seorang anak belum dapat berdiri teguh pada keyakinan yang dia miliki. Oleh karena itu, penting untuk mendorong anak untuk berpikir, mengapa suatu tindakan itu benar atau salah.
Salah satu cara untuk melatih anak berpikir benar dan salah adalah dengan mengajukan berbagai dilema dan bertanya kepada anak kita apa yang akan dia lakukan dan mengapa.
Misalnya, kita bertanya, “Apa yang akan kamu lakukan jika keluarga mu tidak memiliki cukup makanan dan sementara tetangga memiliki banyak, tetapi mereka tidak mau memberikan kepadamu?”
Sekarang, bantu anak kita untuk berpikir dan menemukan bagaimana reaksinya. Benar atau tidak apa yang akan dia lakukan. Jangan sampai dia akan katakan, “saya akan mencurinya”
BAGAIMANA KITA DAPAT MEMBANTU ANAK KITA MENGENDALIKAN DIRI DALAM KEPUTUSANNYA?
Setelah kita melatih dan mendidik mereka, kita harus mengijinkan mereka untuk membuat keputusan bagi diri mereka sendiri. Dan jika mereka memilih memutuskan bertindak salah karena tidak mempertimbangkan saran kita, mereka akan membayar atas pilihan itu,
Dan itu penting, karena mereka dapat belajar dari pengalaman tersebut.
Kita tidak boleh memutuskan semuanya untuk anak kita, supaya dia belajar untuk mengembangkan pengendalian dirinya dan belajar mempertimbangkan benar dan salah.
MENGEMBANGKAN RASA TANGGUNG JAWAB
Anak-anak perlu diberi kesempatan untuk mengembangkan tanggung jawab mereka, karena itu akan membantu mereka untuk bertindak dan bernalar secara moral.
Untuk mengembangkan tanggung jawab, mereka harus dipercayakan tanggung jawab. Misalnya dengan memberi mereka beban untuk mengurus barang milik mereka sendiri. Atau memperayakan pekerjaan rumah.
Ada banyak tanggung jawab yang dapat dipercayakan sesuai dengan tingkat umur mereka.
Pelatihan tanggung jawab harus dimulai sejak dini. Bahkan anak berusia dua tahun sudah dapat membantu ibu melipat handuk!
Ketika penalaran moral anak-anak berkembang, orang tua harus mencari setiap kesempatan untuk menjelaskan mengapa kita harus membantu orang lain.
Ini membantu anak-anak untuk tumbuh secara seimbang, dengan perhatian dan kepedulian terhadap orang lain, daripada selalu menuntut hak mereka dan tidak memiliki rasa kewajiban mereka.
Ilustrasi penutup
Pada 1950-an seorang psikolog, Stanton Samenow, dan seorang psikiater, Samuel Yochelson, memiliki pandangan bahwa kejahatan seseorang disebabkan oleh lingkungan.
Kemudian mereka mengadakan penelitian untuk membuktikan pendapat mereka.
Mereka memulai penelitian selama 17 tahun yang melibatkan ribuan jam uji klinis terhadap 250 narapidana di Distrik Columbia.
Yang membuat mereka heran adalah mereka menemukan bahwa penyebab kejahatan bukan karena faktor lingkungan, kemiskinan, atau penindasan.
Sebaliknya, kejahatan adalah hasil dari perbuatan individu, yaitu pilihan moral yang salah.
Dalam sebuah karya yang diterbitkan tahun 1977 oleh The Criminal Personality, mereka menyimpulkan bahwa jawaban atas kejahatan adalah “perubahan perilaku dari orang yang bersalah ke pada gaya hidup yang tidak bertanggung jawab.”
Pada tahun 1987, profesor Harvard James Q. Wilson dan Richard J. Herrnstein sampai pada kesimpulan serupa dalam buku mereka Crime and Human Nature.
Mereka menentukan bahwa penyebab kejahatan adalah kurangnya pelatihan moral di antara orang-orang muda selama tahun-tahun pada saat pembentukan moral, terutama usia satu sampai enam tahun.
Membangun kebiasaan baik atau mengembangkan kebiasaan buruk adalah seperti timun di dalam botol.
Jika kebiasaan itu diulangi saat anak masih kecil, maka akan sulit untuk menghilangkannya saat anak sudah besar.
Karena itu perintah Tuhan ini harus menjadi panduan kita dalam pembentukan moral anak-anak kita.
“Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu.” Ulangan 6:6-8.
Tuhan memberkati